Rabu, 09 November 2011

Pinggir kota Isfahan, Persia


S
emoga engkau terbakar di dalam rumah ini!” Perempuan itu menggelimpang. Pipi menempel di tanah, rambutnya awut-awutan ke segala arah. Kain di sekujur tubuh di seraki lumpur kering. Lambungnya berhari-hari tak berisi, sekalipun oleh gandum basi. Tenggorokan kering, jauh dari air. Matanya redup hampir memejam, bibirnya gemetaran, “semoga engkau pernah terbakar di dalam rumah ini!” Sedikit meninggi suaranya, “semoga kau terbakar di dalam rumah ini!”
            “diam kau perempuan!” kaki-kaki mengentak tanah. Suara laki-laki kalap, suami perempuan itu, “diamlah atau Ahuramazda akan menyiksamu!”
            “semoga engkau berkembang dalam rumah ini!” suara perempuan itu kian melengking. Pecah, tapi terdengar mengguncangkan. “dalam waktu yang lama, sampai datang pemulihan dunia!”
            “makanlah dana berhentilah menistakan ayat-ayat Zardusht!”
            Lelaki itu hanya berteriak-teriak. Tepat setelah dia melemparkan panci berisi buah-buahan kadaluarsa ke depan wajah istrinya, dia hendak meninggalkannya begitu saja. Membiarkan perempuan itu menggeletak di lantai gudang sedangkan dia kembali kepada kesehariannya.
            Istri sang laki-laki sedang tidak suci. Darah menstruasi itu kotor, tidak  suci. Tidak boleh ada makanan apalagi minuman. Hanya ketika nafas perempuan itu merapat kepada kematian, boleh dia meneguk beberapa teguk air dan sedikit makanan. Bagi sang suami, mendekatinya pun berdosa. Jangan coba-coba. Itu bertentangan dengan ajaran agama.
            “seorang wainta akan mandi di danau Kasava. Dia akan melahirkan Nabi yang di janjikan, Astvat-ereta.”
            “apa kau ingin di rebus di neraka, hai, perempuan?” sang suami berusaha menghentikan teriakan istrinya yang semakin meruncing. Kumis yang melintangi daerah di antara bibir dan hidungnya bergerak-gerak, mengikitu kegelisahan pemiliknya.
            “Nabi itu akan melindungi iman Zarathustra, menumpas iblis, meruntuhkan berhala, membersihkan pengikut Zardusht dari kesalahan mereka.”
            Sang lelaki terdiam. Inginnya menghujami istrinya dengan tamparan, tendangan, dan lebih banyak lagi caci maki. Tapi dia berhenti. Kakinya, mulutnya, berhenti tak bersuara apa-apa lagi. Astvat-ereta! Siapa Astvat-ereta?
***
Danau Zhaling, kaki Gunung Anyemaqen, Tibet
Menghijau padang rumput yang menghadirkan kesegaran hanya dengan menatapnya. Sepagi itu, sekawanan Yak mengikuti naluri mamah biak mereka yang sedang bagus, mengunyah tetumbuhan persis di pinggir danau. Angin menjelajah, membunyikan lonceng-lonceng kecil di tenda yang tegak oleh tambang-tambang kencang dengan pasak-pasak kukuh menghujam tanah. Di permukaan danau, angin itu meninggalkan jejak-jejak yang menggelombang. Riak bening pada cermin cair.
            “sudah kau urus bongkaahan pupuk hewan itu?”
            Perempuan berwajah keras itu melapisi tubuhnya dengan pakaian rangkap. Baju lengan panjang tanpa kerah, berkancing di samping dan celana bertabur hiasan, dengan “pipa” mengkerut mendekati mata kaki. Dia melangkah sigap dengan dua tiang kayu berisi air membebani dua lengannya. Leher, pergelangan tangan, dan pinggangnya di penuhi perhiasan bebatuan: giok, akik, emas, dan perak.
            “beres, Bu.” Perempuan lain yang lebih muda mengangguk sembari mengangkat kedua aliasnya dengan ekspresi jenaka. Dia jauh lebih muda di banding perempuan pertama. Usianya di pertengahan belasan tahun. Dia mengenakan jubah bergaris warna warni, menjuntai sampai ke mata kaki. Sabuk brokat lebar menahan perut. Kain seperti celemek menutupi dadanya.
            “malam nanti awal musim dingin. Kalau engkau ceroboh mengolah pupuk hewan itu, kita bisa kedinginan.”
            Percayakan kepadaku,” jawab si gadis. Langkahnya ceria menjejeri pergerakan kaki-kaki ibunya yang sedikit maskulin. Tugas membereskan bongkahan pupuk hewan menjadi vital, terutama ketika udara semakain dingin., belakangan. Pupuk hewan itu unutk api penghangat, penerangan, sekaligus untuk bahan bakar tungku. Asalnya dari kotoran Yak yang di gumpalkan: di remas-remas, di tepuk-tepuk, sebelum di jemur sampau kering berkerak.
            “kalau begitu, bantu aku membuat mentega. Tadi aku sudah memerah susu cukup sampai makan malam.”
            “he eh.”
            Si ibu masuk ke tenda di ikuti anak gadisnya. Ia lalu meletakan dua tong berisi air di tengah tenda. Persis di pinggir tungku yang terbuat dari batu karang cekung di atas dua batu lain berukuran lebih kecil.
            “bu, Ayah tadi bercerita tentang sebuah keluarga yang melintasi di sisi utara gunung.”
            Si ibu sudah siap dengan bejana kayu dan tangki pengaduk susu ketika anaknya hendak mengatakan sebuah informasi penting. Menarik buat gadis selepas puber seperti dirinya, belum tentu buat ibunya. Sewadah susu Yak hasil memerah beberapa jam sebelumnya jauh lebih menarik perhatian perempuan sematang dirinya.
            “keluarga itu bicara tentang orang-orang yang dating dari luar Tibet mencari jejak Buddha Maitreya.”
            “kau seharusnya tak memikirkan hal-hal semacam itu. Perempuan Tibet sepertimu sudah cukup terhormat jika engkau bisa membuat adonan mentega dengan baik.”
            Si gadis serba ingin tahu memonyongkan bibirnya, “kata orang-orang itu, para biksu menyuruh mereka menyiapkan kelahiran Maitreya.” Dua mata gadis itu berbintang-bintang. “ibu. Orang-orang itu mengatakan, Maitreya yang mereka cari memiliki tubuh semurni emas: terang benderang dan suci.”
            Tidak terpengaruh reaksi ibunya yang tak antusias karena santuk dengan persiapan pembuatan mentega, gadis itu masih saja mengoceh, “mungkin dia reinkarasi dari Dalai Lama atau Panchen Lama.”
            phan-chhen-rin-po-chhe,” suara si ibu. Anak gadisnya melongo. Hampir tidak percaya, ternyata ibunya mengikuti apa yang keluar dari mulutnya. “permata kebijaksanaan yang agung,” lanjut si ibu. “dia akan di lahirkan kembali di tanah P’heling da muncul sebagai penakluk.” Tangan si ibu mulai menuangkan susu ke dalam bejana, “dia akan menghancurkan kesalahan dan ketidaktahuan yang ada selama berabad-abad.”
            Ibu tahu tentang Buddha Maitreya?”
            “sedikit”
            “apa yang akan terjadi jika dia sudah di lahirkan, Bu?”
            Si ibu menggeleng pelan. Konsentrasinya benar-benar tertuju pada adonan calon mentega, sekarang. Susu Yak telah memenuhi bejana. Hal yang harus dia lakukan sekarang adalah mengaduknya ratusan kali agar lemak dan susu tak lagi menjadi satu. “sekarang kau bantulah ibumu.”
            Anak gadis ini memonyongkan bibir sekali lagi.tapi dia segera menghampiri ibunya. Bersia mengganti posisi perempuan itu jika kelelahan atau ada sesuatu yang harus dia kerjakan.
            Di luar tenda, udara bergemerisik menuju beku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar